Menanti Bangau Lewat
Teng !…jam dinding berdentang satu kali. Malam semakin larut, tapi Anis
masih duduk di ruang tengah. Sejak tadi matanya sulit terpejam. Baru
beberapa jam yang lalu Ibu Mas Iqbal, suaminya, menelepon, "Nis,
Alhamdulillah, barusan ini keponakanmu bertambah lagi..." suara ibu
terdengar sumringah di ujung sana.
"Alhamdulillah…, laki-laki
atau perempuan Bu ?" Anis tergagap, kaget dan senang. Sudah seminggu ini
keluarga besar Mas Iqbal memang sedang berdebar-debar menanti berita
Dini, adik suaminya, yang akan melahirkan.
"Laki-laki, cakep lho Nis, mirip Mas mu waktu bayi…" Ibu tertawa bahagia. Dini memang adik yang termirip wajahnya dengan Mas Iqbal.
"Selamat
ya Bu nambah cucu lagi, salam buat Dini, insya Allah besok pulang kerja
Anis dan Mas Iqbal akan jenguk ke rumah sakit" janji Anis sebelum
menutup pembicaraan dengan Ibu yang sedang menunggu Dini di rumah sakit.
Setelah
menutup telpon Anis termenung sesaat. Ia jadi teringat usia
pernikahannya yang telah memasuki tahun ke lima, tapi belum juga ada
tangis si kecil menghiasi rumah mereka. Meskipun demikian ia tetap ikut
merasa sangat bahagia mendengar berita kelahiran anak kedua Dini di usia
pernikahan mereka yang baru tiga tahun.
"Koq melamun !…" Mas
Iqbal yang baru keluar dari kamar mandi mengagetkannya. Ia memang pulang
agak malam hari ini, ada rapat di kantor katanya. Air hangat untuk
mandinya sempat Anis panaskan dua kali tadi.
"Mas, ibu tadi mengabari Dini sudah melahirkan, bayinya laki-laki" cerita Anis.
"Alhamdulillah...Dila
sudah punya adik sekarang" senyum Mas Iqbal sambil mengeringkan
rambutnya, tapi entah mengapa Anis menangkap ada sedikit nada getir
dalam suaranya. Anis menepis perasaannya sambil segera menata meja
menyiapkan makan malam.
Selepas Isya bersama, Mas Iqbal segera
terlelap, seharian ini ia memang lelah sekali. Anis juga sebenarnya agak
lelah hari ini. Ia memang beruntung, selepas kuliah dan merasa tidak
nyaman bekerja di kantor, Anis memutuskan untuk membuat usaha sendiri
saja. Dibantu temannya seorang notaris, akhirnya Anis mendirikan
perusahaan kecil-kecilan yang bergerak di bidang design interior. Anis
memang berlatar pendidikan bidang tersebut, ditambah lagi ia punya bakat
seni untuk merancang sesuatu menjadi indah dan menarik. Bakat yang
selalu tak lupa disyukurinya. Keluarga dan teman-teman banyak yang
mendukungnya, akhirnya sekarang ia sudah memiliki kantor mungil sendiri
tidak jauh dari rumahnya.
Dan, seiring dengan kemajuan dan
kepercayaan yang mereka peroleh, perusahaannya sedikit demi sedikit
mulai dikenal dan dipercaya masyarakat. Tapi Anis merasa itu tidak
terlalu melelahkannya, semua dilakukan semampunya saja, sama sekali
tidak memaksakan diri, malah menyalurkan hobi dan bakatnya merancang dan
mendesign sesuatu sekaligus mengisi waktu luangnya. Beberapa karyawan
cekatan sigap membantunya. Malah sekarang sudah ada beberapa designer
interior lain yang bergabung di perusahaan mungilnya. Itu sebabnya
sesekali saja Anis agak sibuk mengatur ketika ada pesanan mendesign yang
datang, selebihnya teman-teman yang mengerjakan. Waktu Anis terbanyak
tetap buat keluarga, mengurus rumah atau masak buat Mas Iqbal meski ada
Siti yang membantunya di rumah, menurutnya itu tetap pekerjaan nomor
satu. Anis juga bisa tetap rutin mengaji mengisi ruhaniahnya. Namun
karena kegiatannya itu, biasanya ia tidur cepat juga, tapi malam ini
rasa kantuknya seperti hilang begitu saja. Berita dari ibu tadi membuat
Anis teringat lagi. Teringat akan kerinduannya menimang si kecil, buah
hatinya sendiri.
Lima tahun pernikahan adalah bukan waktu yang
sebentar. Awalnya Anis biasa saja ketika enam bulan pertama ia tak
kunjung hamil juga, ia malah merasa punya waktu lebih banyak untuk
suaminya dan merintis kariernya. Seiring dengan berjalannya waktu dan
tak hentinya orang bertanya, dari mulai keluarga sampai teman-temannya,
tentang kapan mereka menimang bayi, atau kenapa belum hamil juga, Anis
mulai khawatir. Fitrahnya sebagai wanita juga mulai bertanya-tanya, apa
yang terjadi pada dirinya, atau kapan ia hamil seperti juga
pasangan-pasangan lainnya… Atas saran dari banyak orang Anis mencoba
konsultasi ke dokter kandungan. Seorang dokter wanita dipilihnya. Risih
juga ketika menunggu giliran di ruang tunggu klinik, pasien di
sekitarnya datang dengan perut membuncit dan obrolan ringan seputar
kehamilan mereka. Atau ketika salah seorang diantara mereka bertanya
sudah berapa bulan kehamilannya.
"Saya tidak sedang hamil, hanya
ingin konsultasi saja…" senyum Anis sabar meski dadanya berdebar,
sementara Mas Iqbal semakin pura-pura asyik dengan korannya. Anis
bernafas lega ketika dokter menyatakan ia sehat-sehat saja. Hindari
stress dan lelah, hanya itu nasehatnya.
Setahun berlalu. Ditengah
kebahagiaan rumah tangganya ada cemas yang kian mengganggu Anis.
Kerinduan menimang bayi semakin menghantuinya. Sering Anis gemas melihat
tingkah polah anak-anak kecil disekitarnya, dan semakin bertanya-tanya
apa yang terjadi dengan dirinya. Setelah itu mulailah usaha Anis dan
suaminya lebih gencar dan serius mengupayakan kehamilan. Satu demi satu
saran yang diberikan orang lain mereka lakukan, sejauh itu baik dan
tidak melanggar syariat Islam. Beberapa dokter wanita juga kadang mereka
datangi bersama, meski lagi dan lagi sama saja hasilnya. Sementara hari
demi hari, tahun demi tahun terus berlalu.
Kadang Anis menangis
ketika semakin gencar pertanyaan ditujukan padanya atau karena cemas
yang kerap mengusik tidurnya. Mas Iqbal selalu sabar menghiburnya
"Anis...apa yang harus disedihkan, dengan atau tanpa anak rumah tangga
kita akan berjalan seperti biasa. Aku sudah sangat bahagia dengan apa
yang ada sekarang. Insya Allah tidak akan ada yang berubah dalam rumah
tangga kita…" goda Mas Iqbal suatu ketika seperti bisa membaca jalan
pikirannya. Suaminya memang tahu kapan Anis sedang mendalam sedihnya dan
harus dihibur agar tidak semakin larut dalam kesedihannya. Di saat-saat
seperti itu memang cuma suaminya yang paling bisa menghiburnya, tentu
saja disamping do'a dan berserah dirinya pada Allah. Kadang Anis heran
kenapa Mas Iqbal bisa begitu sabar dan tenang, seolah-olah tidak ada
apapun yang terjadi. Dia selalu ceria dan optimis seperti biasa. Apakah
memang pria tidak terlalu memasukkan unsur perasaannya atau mereka hanya
pintar menyembunyikan perasaan saja? Anis tidak tahu, yang pasti sikap
Mas Iqbal banyak membantu melewati masa-masa sulitnya.
Sebenarnya
Anis juga bukan selalu berada dalam kondisi sedih seperti itu. Sesekali
saja ia agak terhanyut oleh perasaannya, biasanya karena ada faktor
penyulutnya, yang mengingatkan ia akan mimpinya yang belum terwujud itu.
Selebihnya Anis bahagia saja, bahkan banyak aktivitas atau prestasi
yang diraihnya. Buatnya tidak ada waktu yang disia-siakan. Selagi
sempat, semua peluang dan kegiatan positif dilakukannya. Kadang-kadang
beberapa teman menyatakan kecemburuannya terhadap Anis yang bisa
melakukan banyak hal tanpa harus disibuki oleh rengekan si kecil. Anis
tersenyum saja.
Anis juga tidak pernah menyalahkan teman-temannya
kalau ketika sesekali bertemu obrolan banyak diisi tentang anak dan
seputarnya. Buatnya itu hal biasa, usia mereka memang usia produktif.
Jadi wajar saja kalau pembicaraan biasanya seputar pernikahan,
kehamilan, atau perkembangan anak-anak mereka yang memang semakin lucu
dan menakjubkan, atau cerita lain seputar itu. Biar bagaimanapun Anis
menyadari menjadi ibu adalah proses yang tidak mudah dan perlu belajar
atau bertukar pengalaman dengan yang lain. Tapi kadang-kadang, sesekali
ketika Anis sedang sedih, rasanya ia tidak mau mendengar itu dulu. Anis
senang juga jika ada yang berusaha menjaga perasaannya diwaktu-waktu
tertentu, dengan tidak terlalu banyak bercerita tentang hal tersebut,
bertanya, atau malah menyemangati dengan do'a dan dukungan agar sabar
dan yakin akan datangnya si kecil menyemarakkan rumah tangganya.
Anis
tersadar dari lamunannya. Diminumnya segelas air dingin dari lemari es.
Sejuk sekali. Meskipun malam tapi udara terasa pengap. Ditambah lagi
berwudhu ditengah malam, melunturkan sebagian besar kemelut dalam
dadanya. Setelah membangunkan suaminya, Anis shalat malam berdua. Di
akhir shalat air mata Anis membasahi sajadahnya. "Rabbi..., ampunilah
dosa-dosa kami, jangan beri kami cobaan yang tidak kuat kami
menanggungnya. Beri kami kekuatan dalam menjalani semuanya. Perkenankan
kami memiliki buah hati pewaris kami, penerus kami dalam menegakkan
Dien-Mu. Hanya ridha-Mu yang kami cari. Sungguh tidak ada yang lain
lagi...". Selesai shalat Anis terlelap. Dalam mimpinya ia bermain
bersama beberapa gadis kecil. Senang sekali.
*****
Suatu
siang di kantornya, Anis sedang merancang sebuah ruang pameran. Ada
festival Islam yang akan digelar, mungkin karena tidak banyak designer
interior berjilbab rapi seperti Anis, ia dipercaya merancangnya. Ketika
sedang mencorat-coret gambar, Fitri mengejutkannya, "Mbak Anis, ada tamu
yang mau bertemu".
"Dari mana Fit ?" tanya Anis.
"Katanya dari Yayasan Amanah, mbak, mau menawarkan kerja sama".
"Iya deh, saya kedepan sepuluh menit lagi" jawab Anis.
Setelah
bincang-bincang dengan tamunya akhirnya Anis menyepakati kerja sama
menyantuni beberapa anak-anak yatim yang diasuh yayasan tersebut. Anis
memang selalu menyisihkan rezkinya untuk mereka yang membutuhkan.
Perusahaan mungil yang dikelolanya selalu berusaha menjalankan syariat
Islam.
Sejak itu Anis punya kegiatan baru, menyantuni dan
mengasuh beberapa anak yatim bersama yayasan tersebut. Tidak banyak
kegiatan sebenarnya, hanya laba perusahaan kecilnya yang tidak seberapa
disisihkan sebagian untuk disalurkan sebagai beasiswa untuk beberapa
anak-anak tersebut. Itupun setelah dimusyawarahkan dengan semua
teman-teman dan disetujui bersama. Tapi banyak hikmah yang Anis
dapatkan. Sesekali Anis jadi bertemu dan bersahabat dengan mereka.
Anak-anak yang ditinggalkan orang tuanya sehingga tidak seberuntung yang
lain, yang mendapat curahan perhatian dan kasih sayang berlimpah dari
orang tua. Mereka memang kurang beruntung, tapi kesabaran dan ketegaran
mereka membuat Anis malu menyadari dirinya yang rapuh, mudah mengeluh
dan sedih. Anis jadi menyadari betapa sebenarnya karunia yang diberikan
Allah padanya begitu banyak dan berlimpah. Kalaupun ada satu atau dua
hal yang luput, itu tidak seberapa dibandingkan dengan yang ia telah
dapatkan. Anis jadi menata dirinya untuk lebih sabar dan banyak
bersyukur. Dengan banyak bersyukur tentu Ia akan lebih banyak memberikan
lagi nikmat-Nya.
*****
"Bu Anis, kuenya enak sekali..."
puji Ina tulus. Mata polosnya bersinar senang. Ia memang anak yang
manis, kelas 5 SD dan selalu ranking satu di kelasnya, ibunya hanya
penjual gado-gado dengan tiga orang anak, sementara ayahnya sudah
meninggal sejak Ina kelas satu. Minggu pagi cerah ini Anis memang
mengundang beberapa anak asuhnya ke rumah beserta beberapa orang
pengurus yayasan. Sejak kemarin ia dan Mas Iqbal pontang-panting
menyiapkan semuanya. Sebenarnya bisa saja Anis pesan makanan, tapi entah
kenapa ia ingin menyiapkan sendiri, untungnya Mas Iqbal setuju dan
membantunya penuh.
"Bu Anis, sup nya Farouk tumpah...." jerit Atikah nyaring.
Anis
sibuk melayani mereka, Mas Iqbal juga tak kalah repot. Sekarang Anis
memang semakin dekat dengan mereka, ia berusaha memberikan kasih sayang
dan perhatian atau bimbingan semampunya. Mereka banyak membuka mata dan
hatinya. Anak-anak malang yang membutuhkan kasih sayang dan bimbingan.
Selesai
acara Anis kecapekan luar biasa, anak-anak itu terkadang manja dan
mencari perhatiannya saja, tapi Anis senang. Tamu-tamu kecil itu
menyemarakkan rumahnya.
Keesokan paginya Anis bangun agak siang.
Selesai shalat subuh dan menyiapkan keperluan Mas Iqbal, ia tertidur
lagi. Suaminya berangkat kerja tanpa pamit, kasihan pada Anis yang
sepertinya masih kelelahan. Anis sendiri tidak pergi kerja hari ini, ia
sudah izin sebelumnya.
Jam setengah delapan pagi Anis terbangun oleh dering telepon dari ibunya.
"Anis,
selamat ulang tahun ya…semoga semakin bertambah keimanannya, sehat,
bahagia dan cepat mendapatkan momongan", ujar ibu mendo'akan.
"Terima
kasih ya, Bu" Anis tersadar bahwa hari ini usianya bertambah lagi.
Sebenarnya ia tak pernah menganggap istimewa, tapi kalau ada yang ingat
ya senang juga.
"Masih sering sedih nggak?..." Ibu menggodanya.
Selain Mas Iqbal memang ibu yang paling memahami perasaannya dan tentu
saja yang paling sering menghibur dan mendo'akannya.
"Ingat lho
Nis, apa saja yang kita dapatkan itu sudah hasil seleksi dari sana dan
itu adalah yang terbaik untuk kita. Kita harus ikhlas, sabar, dan senang
menerimanya. Istri-istri Rasululloh pun ada yang tidak diberi momongan
dan itu bukan dosa. Yang penting kita tak putus usaha dan berdo'a,
bagaimana hasilnya biar Allah saja yang menentukan", ibu menasehati.
"Iya Bu" jawab Anis hampir tak terdengar. Ia terharu ibu selalu memperhatikan dan menghiburnya.
Setelah
menutup telpon dari ibu Anis dikejutkan lagi oleh selembar surat di
meja, yang ini ucapan selamat dari Mas Iqbal rupanya. Anis tersenyum
membacanya tapi matanya akhirnya basah juga. Suaminya memang selalu
sabar dan penuh perhatian, tak pernah sekalipun ia menyakiti hati Anis,
kalaupun ada perbedaan pendapat selalu ia selesaikan dengan bijak.
Tiba-tiba Anis merasakan lagi betapa besar nikmat yang telah dilimpahkan
kepadanya. Rasanya tidak ada lagi alasan untuk bersedih, apalagi putus
asa. Kalau memang sudah tiba waktunya dan baik untuknya, tentu harapan
dan do'anya akan dikabulkan. Ia yakin tidak akan ada do'a dan usaha yang
sia-sia. Hanya Allah yang tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya, tidak
mungkin Ia mendzholimi hamba-Nya dan Ia yang akan mengabulkan do'a.
Insya Allah mungkin esok hari. Ya, siapa tahu… (er)
"Dan tiadalah
kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan
sesungguhnya akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, kalau mereka
mengetahui." (Al Ankabuut, 64)